Perusuh Rakyat

Kebetulan Nasrudin Hoja[1] sedang ke kota raja. Tampaknya ada kesibukan luar biasa di istana. Karena ingin tahu, Nasrudin mencoba mendekati pintu istana. Tapi pengawal bersikap sangat waspada dan tidak ramah.

“Menjauhlah engkau, hai mullah[2]!” teriak pengawal.

“Mengapa?” tanya Nasrudin.

“Raja sedang menerima tamu-tamu agung dari seluruh negeri. Saat ini sedang berlangsung pembicaraan penting. Pergilah!”

“Tapi mengapa rakyat harus menjauh?”

“Pembicaraan ini menyangkut nasib rakyat. Kami hanya menjaga agar tidak ada perusuh yang masuk dan mengganggu. Sekarang, pergilah!”

“Iya, aku pergi. Tapi pikirkan: bagaimana kalau perusuhnya sudah ada di dalam sana?” kata Nasrudin sambil beranjak dari tempatnya.

Nampaknnya kisah Nasrudin Hoja di atas[3] mirip-mirip apa yang sedang dan terus terjadi di negri tercinta, Indonesia. Kasak-kusuk tiada henti yang menguras energi. ‘Pestapora’ tanpa rakyat turut serta.

Segala produk demokrasi yang seharusnya digunakan untuk memihak kemaslahatan umat malah menjadi senjata sebagian orang saja. Rakyat tidak pernah dianggap ada. Malah ditekan dan didikte sedemikian seolah rakyat ini pandir.

Mereka yang di atas sana tidak (mau) tahu, bahwa sesungguhnya segala gerak-geriknya (yang mereka sebut kebijakan, manuver politik, statement, dsb) adalah sekedar lelucon bodoh yang terus menerus dipertontonkan. Sampai-sampai lelucon tersebut terasa basi. Tapi dasar kepala batu, mereka di atas sana tidak mau tahu, atau pura-pura tidak tahu. (Asal tahu, rakyat sudah kekenyangan tertawa sampai hampir pingsan.)

Rakyat, bagaimanapun jengahnya terhadap keberlangsungan pemerintahan, selalu saja dianggap tiada. Rakyat ini eksis, manusia, sama seperti mereka di menara gading sana. Janganlah dianggap sepele, tidak berarti, apalagi dianggap sumber masalah. Karena sesungguhnya, banyak masalah negeri ini mereka di atas sanalah penyebabnya.

Ingin sekali menjawab kalimat terakhir Nasrudin Hoja di kisah di atas: bagaimana kalau perusuhnya sudah ada di dalam sana?

“Yaaa, memang sudah lama mereka ada di dalam sana!”[]

Arfan

___________
[1]Nasrudin Hoja adalah figur sufi satiris dari Turki yang dikenal di dunia muslim sejak sekitar abad ke-13 (asal-usul dan biografinya masih diperdebatkan). Kisah-kisah sufistiknya yang turun temurun dikisahkan melalui cerita rakyat, hikayat, maupun buku-buku selalu bernuansa humor dalam bentuk anekdot. Meski begitu kisah Nasrudin selalu bermakna filosofis dan mendalam.

[2]Nasrudin dikenali sebagai mullah karena pakaiannya (kain berlipat di badan, sementara kain sorban di kepala). Mullah/mawla adalah gelar kehormatan bagi pemegang otoritas religius (guru, ulama, yang dihormati, atau bahkan sufi). Istilah ini berkembang di Persia.

[3]Kisah ini diambil dari kumpulan Kisah-kisah Kearifan Praktis Nasrudin Hoja dengan judul terjemahan Perusuh Rakyat.

Tags:

About Arfan

Kurang ajar, makanya saya belajar.

4 responses to “Perusuh Rakyat”

  1. Bambang Priantono says :

    Begitulah akhirnya…

    Hehehehee..

    Jujur, aku kalau baca humor ala Sufi selalu tidak bisa tertawa.

  2. Arfan . says :

    Memang humor mereka bukan bikin ketawa, tapi bikin nyengir dan merenung :)

    Makasih mas Bambang komennya…

  3. Bambang Priantono says :

    Ha-ah..
    Selucu-lucunya Rasulullahpun malah bikin aku menggernyitkan dahi

  4. Arfan . says :

    Iya, setuju…
    Lagian, gak banyak candaan Rasul, yang saya tahu cuma cerita ini:
    Seorang nenek yang bertanya apakah di surga bakal ada orang tua/kolot?
    Rasul jawab, gak ada..
    Si nenek sedih..
    Rasul jawab lagi di surga semua penghuni kembali muda katanya…

    Gitu kira-kira..

Komentar anda