Wake Up!

Pagi itu rombongan berbaris rapi bergerak mengikuti sebuah sedan biru telur menuju dekat kantor kedutaan Kamboja di Saigon, Vietnam. Dari pagoda mereka berhenti di persimpangan jalan Le Van Duyet saat keadaan belum lagi ramai. Seorang pria paruh baya keluar dari sedan biru, diiringi dua orang lainnya yang segera menggelar alas di tengah jalan. Bergerak penuh wibawa, sang pria paruh baya mengambil posisi bertapa di atas hamparan alas. Sementara seorang pengiringnya memindahkan isi satu jeriken ke atas kepala plontos dan jubah oranye  yang melilit tubuh petapa.

Bergerak tanpa suara, tiga ratusan anggota rombongan membuat formasi mengelilingi sang petapa dalam lingkaran besar. Hening, ketika sang petapa paruh baya menghentikan meditasinya untuk mengeluarkan macis. Digeseknya macis hingga memercik api yang langsung menjilati jubahnya yang telah basah oleh bensin. Kembali senyap. Asap hitam dengan cepat membumbung ke angkasa. Bau daging terbakar menyeruak. Sementara sekeliling menangis, menjerit, bermantera, sang petapa justru diam tanpa gerak, tanpa suara, seolah api itu dingin adanya. Pagi tanggal 11 Juni 1963 itu Thich Quang Duc (65) terbakar menjemput ajal.

Thich Quang Duc membakar diri demi memprotes pemerintah atas sebuah bentuk penindasan terhadap agama Buddha di negeri Vietcong itu. Sebelum ajalnya, biksu Buddha itu meninggalkan pesan tertulis bagi presiden Vietnam kala itu, Ngho Dien Diem, dimana pesan tersebut berisi tuntutan persamaan hak beragama demi keutuhan tanah air. Peristiwa dalam kobaran api tersebut diabadikan oleh wartawan foto Associated Press, Malcolm Browne. Tidak aneh jika kemudian potret Browne menjadi potret juara World Press Photo sekaligus menyedot perhatian dunia tahun 1963. Selepas potret tersebut beredar, rezim pemerintahan Diem lambat laun runtuh. Potret tersebut menjadi sangat kuat dalam segala aspeknya yang dapat dianalisa, karena menyuarakan satu hal: perlawanan.

***

Jauh setelah peristiwa biksu Duc terjadi, Rabu (7/12) seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Karno nekat membakar diri di depan Istana Negara Jakarta. Tiga hari selepas kejadian (10/12) pelaku sekaligus korban, Sondang Hutagalung (22) meregang nyawa, tak mampu bertahan atas luka bakar  yang diderita.

Sayang beribu sayang sampai kini tidak ada yang tahu motif Sondang membakar diri. Puluhan opini yang terlontar dari politikus, aktifis mahasiswa, hingga rakyat biasa, bermunculan di media massa maupun di sosial media. Namun opini-opini masih berupa asumsi yang didasarkan pada latar belakang dan aktivitas kemahasiswaan pelaku. Bahkan keluarganya sendiri tidak ada yang tahu apa motif di balik tindakan nekat tersebut.

Apapun alasannya membakar diri adalah perbuatan yang tidak akan pernah masuk pembenaran logis maupun normatif. Aksi tersebut tidak layak tiru, dan sulit untuk disebut aksi kepahlawanan (walau bukan tidak mungkin, contohnya biksu Duc menjadi pahlawan lokal di Saigon sana).

Namun begitu meski menuai kontroversi, dampak yang mengekor kejadian bakar diri dimanapun selalu sama: perhatian publik. Dan pada akhirnya apa yang kelak dilahirkan oleh perhatian publik tersebutlah yang menjadi penting, karena disana potensi people power terletak.

Peristiwa bakar diri biksu Duc menyedot perhatian dunia, dan menyebabkan berakhirnya krisis Buddhisme sekaligus menggoyahkan rezim presiden Diem di Vietnam sana. Bisa jadi karena penyebab dan tujuan bakar diri yang ‘jelas’ tertulis dalam surat terakhirnya: ketimpangan perlakuan terhadap agama yang dianut Duc dan supaya pemerintah merubah sikap.

Muhammed Bouazizi, pedagang di Tunisia membakar diri akibat dagangannya ‘ditertibkan’. Motifnya jelas, Bouazizi kesal atas sumber penghidupannya yang digasak aparat, sementara dia resah karena tidak mampu menyuarakan protesnya. Kematiannya kemudian menggugah perhatian publik sehingga timbul upaya revolusi untuk menjatuhkan rezim Ben Ali.

Bagaimana dengan Sondang? Ada pihak-pihak yang berspekulasi mempersandingkan Sondang dengan Bouazizi, katanya, bau-bau revolusi di Indonesia telah tercium. Ada juga yang berpendapat Sondang mati sia-sia, tambahnya, bagaimanapun seseorang akan lebih bermanfaat jika ia hidup. Juga yang moderat berpendapat bahwa bagaimanapun kita harus tetap menghormati keputusan dan tindakan almarhum. Pendapat apapun sah-sah saja selama tidak menghujat dan membuat lelucon atas peristiwa tersebut.

Sayang, motif bakar diri Sondang tidak terendus secara gamblang. Dengan segala hormat, tulisan ini tidak bermaksud mengatakan bahwa motif bakar diri Sondang ‘tidak jelas’. Justru sebaliknya, aksi bakar diri almarhum Sondang hendaknya dipandang sebagai klimaks keresahan kolektif yang bermuara di pikiran seorang mahasiswa; dan bisa jadi pikiran mudanya gagal menemukan jawaban logis untuk menyuarakan keresahan selain dengan membakar diri.

Sekarang tinggallah kita yang hidup dan kebetulan berperan sebagai publik yang terebut perhatiannya, dapat memaknai dan menyikapi peristiwa Sondang sesuai kapasitas masing-masing. Terlebih lagi pemerintah. Semoga peristiwa bakar diri ini menjadi godam pemukul nurani pemerintah, pengingat bahwa ada yang salah dalam negri ini. Karena sungguh tidak layak disebut manusia bernurani jika yang di dalam Istana melakukan pembiaran.

Kita hanya mampu menduga-duga apa yang kelak terjadi di depan. Yang secara pasti dapat kita pahami hanyalah rangkaian kejadian di masa lalu yang telah membawa kita ke masa ini. Peristiwa bakar diri tidaklah mungkin terjadi begitu saja tanpa sebab yang betul-betul meledakkan resah pelakunya. Yang jelas segala bentuk keresahan sudah pasti timbul dari keadaan yang tidak sesuai kehendak.

Sikap Sondang sudah menemukan puncak ekspresinya, selanjutnya giliran kita mengorek nurani untuk berintrospeksi sesuai kapasitas masing-masing. Mari sadari bahwa ada yang salah dari pemerintah, dan (mungkin) ada yang salah dari sikap tidak acuh kita terhadap kesalahan pemerintah. Minimal, pasti ada yang salah di kehidupan bermasyarakat kita, sehingga ada orang yang tega mencerabut Hak Asasi Manusia milik dirinya sendiri.

***

Rage Against The Machine (RATM), band pengusung tema kritik sosial asal Los Angeles, menggunakan potret biksu Quang Duc yang membakar diri sebagai sampul album perdananya. Jelas, karena potret tersebut mengandung tema yang kuat dan sesuai dengan nyawa keseluruhan band, yaitu perlawanan. RATM menyuarakan kritik sosial yang serupa dengan aksi para pelaku bakar diri namun berbeda media ekspresi.

Setidaknya, Biksu Duc, para korban bakar diri, dan RATM punya satu kesamaan: mereka sama-sama resah dan sama-sama ingin ‘berbagi’ keresahan kepada publik. Keresahan yang dirangkum dalam salah satu judul lagu tersukses debut album RATM: Wake Up![]

Arfan

_________

 

Tags:

About Arfan

Kurang ajar, makanya saya belajar.

25 responses to “Wake Up!”

  1. Bambang Priantono says :

    Daripada bakar diri, mending sembelih kebo

  2. Arfan . says :

    Saya gak bisa bayangin perasaan orang tua pelaku bakar diri, semulia apapun alasannya.

    *Juga orangtua si kebo yang disembelih. :(

  3. Bambang Priantono says :

    Hehehehe..kalau kebo mah cuek aja anaknya disembelih

  4. Arfan . says :

    Belum tentu. Siapa tau si ibunda kebo ngedoain yang buruk-buruk buat si penyembelih dan pemakan daging kaumnya. Terbukti, pemakan daging banyak yang kolesterol tinggi. Hehe

  5. Bambang Priantono says :

    Hahahaha
    Padahal kebo kadar lemaknya rendah lho
    Dagingnya lebih alot dari sapi

  6. Arfan . says :

    Ya tuhan, beda ya kebo ama sapi. Hehehe…
    Eh baru tau lho, lemak kebo lebih rendah.

  7. Iwan Yuliyanto says :

    Korban bunuh diri tidak meninggalkan pesan apapun, jadi masyarakat hanya berasumsi ya.

  8. Arfan . says :

    Itu yang disayangkan, nyawa melayang, tapi pesan yang dimaksud adalah hasil tebak2an masyarakat.

  9. ria irwanty says :

    Apa ya tujuan dan maksud si pelaku…..
    dan sayangnya kburu meninggal

  10. Julie Utami says :

    Menurut saya, bakar diri tidak membawa manfaat bagi siapa-siapa. Lha coba aja sekarang dilihat apa reaksi pemerintah? Cuma sekedar mengungkapkan rasa duka cita doang, nggak ada tindakan yang berarti untuk mengubah tatanan kehidupan yang makin menyesakkan orang miskin.

    Kata anak saya, sebelum bakar diri almarhum Sondang dan anak-anak UBK lainnya demo sambil menyebar berbagai pamflet yang berisi keprihatinan atas keadaan negara sekarang di sekitar stasiun Cikini. Kebetulan anak saya kuliah di IKJ jadi tiap hari ya lewat stasiun Cikini. Kira-kira aksi bakar diri itu merupakan terusan dari demo tadi.

  11. Arfan . says :

    Iya teh, 'kurang jelas'. Jadinya separuh sia-sia.
    Kalau saya jadinya sedih ngebayangin perasaan keluarganya…

  12. Arfan . says :

    Iya betul Bun. Efeknya gak sebesar apa yang pernah terjadi di Tunisia atau di Vietnam sana. Soalnya, situasi dan keadaan negara gak sama. Di sana orang bakar diri bisa berbuah revolusi, mungkin akibat keadaan yang sudah di ambang batas keresahan.

    Kalau di sini kan, yang susah & yang resah banyak, yang kaya dan bahagia juga masih banyak. Jadi belum satu pikiran untuk berubah gitu Bun… Yaa diambil hikmahnya aja deh.

    Owh, anaknya Bunda kuliah di IKJ. Calon seniman nih… Hehehe

  13. Julie Utami says :

    Iya di FFTV. Tapi sebetulnya niatnya sih pengin jadi jurnalis foto.

  14. Arfan . says :

    FFTV tuh apa Bun? Stasiun TV lokal kah?

    Wah, jurnalis foto tuh profesi hebat, soalnya kerjanya ngerekam sejarah. Tapi rada berat juga sih, terutama di masalah mendahulukan tugas atau nurani. Kalau ada kejadian yg bahaya, motret dulu atau nolongin dulu… Bingung…

    Kayak ilustrasi di atas, si jurnalis foto lebih milih motret objek yang terbakar, terus dia dapet penghargaan dunia. Sementara biksu yg jadi objek foto gosong sampai mati. Ironis. Hehe…

  15. Julie Utami says :

    Fakultas Film, Fotografi dan TV. Anak saya di jurusan Fotografinya. Satu angkatan muridnya cuma 7 orang. Yang laris jurusan TV katanya sih.

  16. Arfan . says :

    Oooh… Sok tau saya. Kirain stasiun TV. Hahaha.
    Wah, cuma 7 orang… Berati enak dong, saingannya sedikit :)

  17. Kang Ibut ™ says :

    Tindakan instan dan terkesan sebagai tindakan keputus asa-an, tetapi justru sangat efektif untuk mencapai keberhasilan.

  18. Arfan . says :

    Tetap terbilang tindakan nekat yang sulit masuk akal sehat. Hanya saja maksud dan tujuan tindakan si biksu ini jelas, sebuah tuntutan, tertulis pula. Makanya efektif.

  19. Kang Ibut ™ says :

    Semoga hal ini tidak Perlu terjadi di Indonesia. Ngeri :D

  20. Arfan . says :

    Tidak perlu terjadi berulang kali. Satu korban mahasiswa saja sudah terlampau mengerikan.

Leave a reply to Bambang Priantono Cancel reply