Tag Archive | puisi

Tentang Tuhan / Sapardi Djoko Damono

Tentang Tuhan

Pada pagi hari Tuhan tidak pernah seperti terkejut dan
bersabda, “Hari baru lagi!”; Ia senantiasa berkeliling merawat
segenap ciptaan-Nya dengan sangat cermat dan hati-hati tanpa
memperhitungkan hari.

Ia, seperti yang pernah kaukatakan, tidak seperti kita
sama sekali.

Tuhan merawat segala yang kita kenal dan juga yang tidak
kita kenal dan juga yang tidak akan pernah bisa kita kenal.

Sapardi Djoko Damono

__________
Dari Buku Satu, nomor 14, buku Kolam: buku puisi/Sapardi Djoko Damono, Jakarta: Editum, 2009

Di Mesjid Salman / Ajip Rosidi

Benar kata Acep Iwan Saidi, salah satu aspek yang menentukan dalam usaha pemahaman terhadap puisi adalah pengalaman (experience). Benar pula pendapat yang menyebutkan, seorang penyair menulis sajak sebagai bentuk kristalisasi pengalaman dalam hidup. Dalam konteks pengalaman inilah penyair dan pembaca berkomunikasi, berdialog, dan berdiskusi sepenuhnya melalui media sastra.

Dengan alasan itulah, puisi “Di Mesjid Salman” (Terkenang Topeng Cirebon, 1993: 240) begitu mengena bagi saya pribadi. Mengena, dalam arti lain. Maksud saya, ada kemungkinan puisi ini mudah dipahami bahkan untuk orang-orang yang belum pernah memasuki masjid Salman, karena metafor-metafor dalam tiap diksinya relatif mudah dipahami. Namun, pemahaman yang berbeda akan timbul bagi mereka yang pernah beribadah maupun sekedar berdiam diri di dalam masjid di samping komplek ITB ini. Dengan kata lain, pengalaman puitis milik penyair dan pembaca, yang saya maksud di atas, akan bertemu dalam media sajak ini.

Di Mesjid Salman / Ajip Rosidi

Tanpa tiang-tiang yang menghalang
aku sujud pada cerpumu

Dalam ruang yang temaram
kupegang erat-erat tali keimanan

Guncangan-guncangan di luar
biarlah berbenturan mencari keseimbangan

Benih yang tumbuh dalam hati
semoga menghunjanamkan akar keiklasan

dengan ridoMu.

Itulah mengapa saya merasa begitu mengenal bait Tanpa tiang-tiang yang menghalang/aku sujud pada cerpumu. Saya begitu memahami maksud Ajip yang begitu tulus ketika berkata Dalam ruang yang temaram/ kupegang erat-erat tali keimanan. Suasana pencahayaan yang memang sengaja diatur sedemikian temaram adalah ciri lain masjid ini, yang saya yakin bukan hal yang tidak disengaja. Minimal orang yang berada di dalam masjid ini, dapat merasakan aura kekhusyukan untuk berusaha memegang …erat-erat tali keimanan.

Begitulah adanya. Masjid yang terkenal dengan kubah terbaliknya ‘mengharamkan’ tiang kolom penyangga beban di dalamnya. Hal ini seakan menjadi sebuah filosofi yang ingin menyampaikan bahwa tidak ada penghalang apapun antara Tuhan dengan hambaNya yang ingin sujud berdialog mendiskusikan keimanan. Seakan sebuah simbol, bahwa komunikasi Tuhan dan hambaNya berlangsung murni dua arah tanpa butuh perantara. Dan memang begitulah seharusnya.

Pengalaman lain yang saya baca dari sajak ini, adalah ketenangan batin. Betapa saat berdiam diri di masjid berlantai kayu ini, kita seolah terlepas dari hingar bingar dunia luar. Suasana tercipta begitu tenang, begitu khusyuk, hingga kita tidak perlu merisaukan Guncangan-guncangan di luar. Cukup dengan tawakal, memasrahkan segala yang terjadi, biarlah (Guncangan-guncangan di luar) berbenturan mencari keseimbangan.

Pada akhirnya suasana masjid sedemikian, akan menciptakan keintiman percakapan kita dengan Tuhan, sehingga Benih yang tumbuh dalam hati, kita harapkan akan menghunjanamkan akar keiklasan. Tentu saja hanya dengan ridoMu.[]

Arfan

__________

Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari / SDD

Arif bijaksana. Itulah, kesan yang pertama muncul di benak setelah selesai membaca bait-bait syair di sajak Sapardi Djoko Damono ini. Opa Sapardi, sungguh sangat piawai bersajak. Beliau pandai merangkai kata-kata sederhana menjadi kalimat yang seutuhnya bermakna.

Duh, puisi ini yang paling saya suka dari sajak-sajak SDD. Entah mengapa pilihan kata yang begitu membumi, yang diolah sedemikian rupa secara pantas, melahirkan makna yang melangit luas. Sangat Sapardi.

Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari / Sapardi Djoko Damono

waktu berjalan ke barat di waktu pagi matahari
mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang
memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara
kami yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di
antara kami yang harus berjalan di depan

1971

***

Saya yang awam sastra, mencoba menerjemahkan serampangan;
Kita, manusia, tidak lebih penting dari alam. Namun kita tetap merupakan bagian penting dari alam, yang membawa warna tersendiri di kehidupan ini.

Kita dan alam saling membuat keterkaitan sebab akibat. Semua sebab adalah keputusan kita, dan alam tinggal mengabulkan akibat. Tinggal bagaimana kita, sebagai makhluk yang berpikir, berkompromi dengan alam. Begitulah kiranya, kita harus mampu berjalan beriringan dengan alam, aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di/ antara kami yang harus berjalan di depan.

Setidaknya itulah hikmah yang saya dapat sebagai bentuk apresiasi puisi “Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari” (Hujan Bulan Juni, 1994).[]

Arfan

___________